Sebut saja Guntur, kemudian menyiapkan keperluannya untuk berangkat kuliah pagi itu, sebagai kebiasaan yang dia lakukan setiap hari sebangun dari tidurnya sebelum berangkat kuliah. Namun, aneh rasanya, sepagi itu langit masih diselimuti awan hitam, dan hal itu jarang Guntur jumpai dalam hidupnya. Sampai-sampai dia ragu melangkahkan kakinya, untuk memulai babak kehidupan barunya.
"Apakah langkahku akan terhenti hanya karena awan mendung?" pikir Guntur dalam benaknya.
Sesaat kemudian sinyal dari tetesan-tetesan air mulai berjatuhan, dan membuat Guntur semakin ragu untuk melanjutkan niatnya.
"Wahh... Kalo begini mending aku kembali tidur, lebih enak sepertinya."
Berniat kembali ke kamarnya, tiba-tiba bahunya merasa tersentuh oleh telapak tangan, yang entah darimana berasal. Dengan refleks Guntur langsung menoleh.
“Siapa itu?” tanya Guntur.
Ternyata tidak ada orang sama sekali, semenit kemudian Guntur teringat pada temannya yang masih tertidur nyeyak dikamarnya.
“Tadi itu… yang pasti bukan Ananta, ” berusaha meyakinkan dirinya.
Sembari menunggu hujan reda, Guntur masih memikirkan apa yang terjadi barusan. Di tengah percakapan batinnya, terdengar panggilan setengah berteriak dari kamar sebelah, membuat Guntur seketika tersadar dari percapakannya sendiri.
“Guntur… sekarang sudah pukul berapa?” teriak Ananta.
“Sudah pukul setengah 8, memangnya kenapa?” tanya Guntur.
Tak ada jawaban balasan, kemudian Guntur menghampirinya, dan mendapati temannya masih dalam keadaan terbaring di kasur.
“Ehh, kok kamu gak bangunin aku sih?” protes Ananta.
“Iya-iya maaf, besok pasti aku bangunin, soalnya aku tadi buru-buru, sudah kesiangan,” jawab Guntur.
“Aku ada kuliah hari ini.” (sambil mengucek-ngucek matanya)
“Iya-iya aku janji, besok pasti aku bangunin,” balas Guntur.
“Kamu tuh hanya bisa berjanji saja, sama seperti kemarin katamu ingin membangunkanku, tetapi nyatanya tidak sama sekali, huhh…” ucap Ananta sambil mendengus.
“Ehh Ananta, tau tidak, tadi bahuku merasa disentuh sebuah tangan, tapi ketika aku noleh tidak ada siapa-siapa,” ucap Guntur mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Hantu mungkin,” jawab Ananta cuek.
“Mana ada hantu pagi-pagi begini,” balas Guntur.
“Terus siapa lagi, kalo bukan hantu?” jawab Ananta menimpali.
“Tunggu-tunggu, aku baru inget! sepertinya diwaktu tidur, aku juga bermimpi ada seorang rambutnya penuh uban, kulit wajahnya sudah keriput, terus badannya kurus, dan aku merasa, bahuku juga disentuh (layaknya orang tua memberi amanah),” Ananta mendeskripsikan apa yang dijumpainya ketika tidur, sambil memperagakan tangannya seolah-olah pria dalam mimpinya benar-benar ditemui pada dunia nyata.
“Hilihh, palingan juga genderuwo lagi bingung tuh..butuh temen mungkin,” ejek Guntur sambil tertawa cengingikan.
“Tapi bukan ciri-cirinya yang membuatku heran, melainkan kata-katanya (Pria dalam mimpi)” mengernyitkan dahi, mencoba mengingat kembali apa yang pria itu katakan.
“Memangnya apa yang dikatakannya, Ananta?” Guntur bertanya.
“Ohh iya.. aku baru ingat! Orang itu bilang, ”Kapan kau akan memulai?” begitu kira-kira yang aku ingat," merasa heran dengan pertanyaan seperti itu, Ananta meminta jawaban pada Guntur.
“Aku pun bingung, mau menjawab seperti apa,” jawab Guntur.
“Bukannya selama ini, pertanyaan itu sudah ada dalam dirimu, tapi kau tak kunjung menjawabnya,” tambah Ananta.
Mendengar hal itu, Guntur keheranan. “Hahh..? Apa yang kau maksudkan itu? Aku tak mengerti.”
“Iya, pria itu juga bilang “Sampai kapan kau terus menunggu?” dan “Apa belum cukup kau tertidur selama ini? Saatnya bangun dari tidurmu, mulailah apa yang ingin kamu lakukan!” lanjut Ananta.
Belum selesai keheranannya dengan pertanyaan pertama, Guntur kembali dihadapkan dengan ungkapan kata-kata lainnya dari (pria dalam mimpi) seperti yang dikatakan Ananta, yang membuatnya bukan lagi heran, melainkan kebingungan.
Percakapan itu belum juga usai, sebab secara tidak diduga Ananta yang awalnya biasa-biasa saja, secara ajaib berubah menjadi sosok pria yang dia temui dalam mimpi saat tidurnya. Belum selesai dengan pikirannya, sontak Guntur terkaget dan terperanjat dari tempat duduknya, melihat Ananta yang kini berubah menjadi sosok pria beruban, dengan rambut yang tak lagi mau tumbuh, dengan kulit keriputnya, menunjukkan dia adalah sosok orang tua renta (kakek) yang tak lagi panjang umurnya, tapi aura diwajahnya penuh semangat dan terlihat semasa hidupnya tak memiliki keraguan dalam tindakannya.
“Siapa kamu?” tanya Guntur heran dan takut setengah mati, sebab tak pernah menjumpai hal semacam ini.
“Apa kamu takut? Bukannya selama ini aku selalu berada disampingmu, tapi kamu tak menyadarinya,” ucap kakek dihadapannya.
“Tidaaak… tidak mungkin, ini pasti hanya mimpi," teriak Guntur menghadapi kegugupannya.
“Saat ini, kamu memang sedang bermimpi, dan selama ini kamu hanya bermimpi dengan khayalan-khayalan harapanmu, lalu kapan kau akan memulai?” tanyanya.
“Sebelum dilanjut, aku ingin bertanya, kemana perginya Ananta? Satu-satunya sahabatku itu,” tanya Guntur dengan tegas, meskipun seluruh badannya gemetar ketakutan.
“Akulah Ananta yang kamu maksud,” Jawab kakek itu dengan tersenyum. “Dan akulah yang selalu mencoba mengajak bangkit dari tidurmu, agar kamu tidak lagi berkhayal dan bersiap memulai babak baru, untuk menemukan jati diri, siapa kamu sebenarnya,” terang kakek itu dengan suara lirih.
“Apakah benar aku ini sedang bermimpi? Atau aku (saat ini) hanya tertidur dalam khayalan semata?” ucap Guntur meyakinkan dirinya untuk bertanya.
“Benar, saat ini kamu sedang bermimpi, tanpa kamu sadari, kamu telah mengingkari niatmu bahwa kamu akan menjadi penulis yang terkenal dan tulisanmu akan membawa perubahan. Bukankah begitu wahai pewarisku, Guntur Pranoyo Soer?” jelas kakek itu, dengan raut muka berseri-seri penuh keyakinan dan semangat membara melalui karya tulisannya.
Bertambah lagi keheranannya, “Guntur Pranoyo Soer?” gumam Guntur dalam pikirannya.
Tanpa pikir panjang merasa keadaan hatinya sudah tenang, mengingat sosok kakek itu tidak menyeramkan sebagaimana pikirnya, Guntur kembali bertanya tanpa keraguan sedikitpun, karena dia sudah meyakini bahwa kakek dihadapannya ini adalah jawaban dari teka-teki yang selama ini bersemayam dalam mimpi tidurnya. “Kakek, apa yang membuat yakin bahwa aku adalah pewarismu? Pewaris seperti apa yang kakek maksudkan? Dan apa yang seharusnya kulakukan sekarang?"
“Nak, potensimu luar biasa besarnya, bangun dan tulislah apa yang kamu temui dalam hidup, agar orang-orang bisa belajar dari semua pengalamanmu, untuk lebih meyakinkanmu kuserahkan dua benda ini padamu (sambil mengeluarkan benda dibalik pakaian lusuhnya dan memberikannya pada Guntur), teruskanlah estafet perjuanganku, masih banyak yang perlu diperbaiki di negeri ini,” Guntur menerima pemberian dari kakek itu.
“Pena dan kertas?” gumam Guntur sambil memandangi kedua benda itu.
“Sudah saatnya aku kembali ke alamku, masaku sudah berlalu, sekaranglah masamu, Menulislah Maka Kau Akan di Kenang,” ucap kakek itu dalam kalimat terakhirnya, menyudahi dialog panjang dengan penerusnya.
“Kakek, ada yang masih ingin kutanyakan padamu,” tambah Guntur. “Sudah cukup nak, amanah moyangku sudah kusampaikan padamu, bangun dan bangkitlah, mulailah semuanya dari dirimu, jangan menunggu orang lain, sampai pada saat waktu yang tidak ditentukan, kita akan bertemu kembali di babak kehidupan berikutnya,” pesan terakhir dari si kakek.
“Baik kek, aku akan mewujudukan harapanmu bersama harapanku,” Jawab Guntur dengan penuh keyakinan dan semangat yang membara.
Lambat laun, sosok kakek itu menghilang dari hadapannya, diikuti senyum diwajahnya, menandakan episode perjuangannya telah menemukan babak baru. Entah mengapa, sekarang Guntur berlinang air mata, kemudian menetes membasahi pipinya.
Jawaban yang ia cari sudah menemukan titik tolak dari kebingungannya selama ini dan harapan kakek itu padanya yang terlampau besar, masih tertunduk sedih Guntur teringat belum sempat mengucapkan sepatah kata perpisahan, dari perjumpaan sementara dengan kakek penunjuk Arah Langkah kehidupannya.
Belum sempat mengucapkan kata selamat tinggal dan ungkapan rasa terima kasihnya, kakek itu sudah menghilang entah kemana. Diikuti dengan cahaya terang, menyinari wajahnya, seolah-olah membangunkan Guntur dari tidur panjangnya. Semenit kemudian, Guntur membuka mata, dengan keadaan sembab dan basah pipinya. Guntur tersadar, dia baru terbagun dari tidurnya dengan mimpi yang membuatnya kembali bersemangat menjalani hidup.
Teringat benda pemberian sosok kakek dalam mimpinya, Guntur bangkit dari tidurnya, memerhatikan tangannya yang sudah terdapat pena ditangan kanannya dan sebuah kertas ditangan kirinya. Dan ia menyadari, bahwa ada perubahan dalam dirinya, setelah berdialog dengan sosok kakek dalam mimpinya.
Tak mau menyianya-nyiakan waktu, diusap air matanya dan digenggam erat benda ditangannya, Guntur beranjak keluar mendongakkan kepalanya menghadap langit, dengan tarikan nafas panjang, Guntur memulai. “Baiklah, aku akan beranjak dari mimpiku dan memulai langkahku sesuai dengan amanahmu, wahai kakek yang bijaksana,” gumam Guntur penuh semangat.
Ternyata jam dinding menunjukkan masih pukul setengah 7 pagi, buru-buru ia menyiapkan keperluan kuliahnya, juga memasukkan pena dan kertas ke dalam tasnya, dan bersiap untuk berangkat kuliah. Di perjalanan, barulah ia tersadar bahwa langit pagi itu sangatlah cerah tanpa terhalang awan mendung sedikitpun, tidak seperti apa yang ia lihat di awal mimpinya. Kemudian ia menyimpulkannya dalam batin. “Mungkinkah ini yang dimaksud kakek itu?” tanyanya dalam hati. Kemudian meneruskan, “Bahwa tidak ada yang bisa menghentikan langkahku, meski awan mendung sekalipun, terima kasih kek, Guntur akan berjuang,” Kembali meyakinkan dirinya.
Terjawab lah sudah mimpi dan khayalan-khayalan besar Guntur, bahwa selama ini ia hanya perlu memulai dan menghilangkan keraguan dalam dirinya. Dan keyakinan besar si kakek, sesuai dengan namanya GUNTUR, akan membawa perubahan pada lingkungan sekitarnya bagaikan guntur yang tak disangka-sangka dari mana asalnya. Dan nama “Ananta” ternyata tak lain dari nama si kakek, yang selama ini dia perihatin dengan hidup Guntur dan selalu menemani dalam mimpinya disaat Guntur mulai kehilangan arah hidupnya.
Karena kakek itu tahu, bahwa selama ini Guntur selalu berjuang sendirian, dan dia (si kakek) mencoba membantu dengan menuntunnya pada langkah yang sesuai dengan masanya (Guntur).
END~
By : Iqbal F. R
Label: Cerpen